Pabrik Bernama Negara dan Langkah “Perempuan” Mengubahnya

Catatan kecil ini adalah semacam refleksi yang sengaja di buat dalam rangka peringatan hari perempuan internasional. Saya anggap tulisan ini sebagai pemanasan kembali setelah sekian lama tidak mengisi artikel di dalam blog ini. Hari ini akan saya jadikan sebagai momen perayaan kehidupan. Perayaan pada harapan untuk merengkuh hidup yang merdeka. Terdengar klise dan sangat kelasLanjutkan membaca “Pabrik Bernama Negara dan Langkah “Perempuan” Mengubahnya”

Ketidakadilan dalam Kasus Agraria

Palu hakim sudah diketuk. Vonis masa tahanan penjara 5 tahun 6 bulan sudah ditetapkan. Tiga petani Pakel Mulyani, Suwarno, dan Untung dinyatakan bersalah atas laporan kasus keonaran oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi. Keonaran yang dimaksud termaktub dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana: Barang siapa, dengan menyiarkan berita atauLanjutkan membaca “Ketidakadilan dalam Kasus Agraria”

Mengupas Keputusasaan Masa Depan Lingkungan di FFD 2023

Tulisan ini ditulis setelah penonton dua film dari segmen “Perspektif” di dalam Festival Film Dokumenter. Segmen ini cukup menjadi perhatian para penikmat dan pemerhati film yang datang ke FFD. Tahun ini, saya-lah yang tertarik pada “Perspektif” FFD. Sebab, tema yang diangkat adalah Anthropocene. Sebuah istilah dari kalangan ahli geologi yang menunjukkan proses perubahan lapisan bumiLanjutkan membaca “Mengupas Keputusasaan Masa Depan Lingkungan di FFD 2023”

Moral Ekologi Kapitalis: Sebuah Catatan Etnografis (2)

Nilai Guna vs Nilai Tukar dan Perkara Rehabilitasi Lingkungan Perdebatan ini berakar dari pemahaman produksi ekonomi paling dasar antara kapitalis dan kelas petani. Nilai guna (use value) merupakan cara pandang yang dipakai petani terhadap material modalnya, sedangkan nilai tukar (exchange value) menjadi milik kapitalis. Pada persoalan paling nyata ialah cara pandang terhadap tanah sebagai modeLanjutkan membaca “Moral Ekologi Kapitalis: Sebuah Catatan Etnografis (2)”

Moral Ekologi Kapitalis: Sebuah Catatan Etnografis

Darahku berdesir setiap satu nama organisasi lokal pejuang lingkungan disebut. Rasanya mendidih semakin parah ketika beberapa nama orang di dalamnya disebut. Meskipun dalam dialog ini posisi saya sebagai peneliti, emosi subjektif yang berpotensi menjadi bias ini harus saya akui dan sampaikan. Namun, pada kondisi demikian saya harus tetap terlihat tenang. Sekuat tenaga saya tahan segalaLanjutkan membaca “Moral Ekologi Kapitalis: Sebuah Catatan Etnografis”

Dekolonisasi, Multidisiplinitas, dan Etnografi: Senjata Ilmuwan Melawan Perusak Alam

Sebuah berita digital muncul di daftar mesin pencarian saya sewaktu mencari tahu apa gerangan krisis yang terjadi di Papua. Judul beritanya ialah “El-Nino jadi Penyebab Kelaparan di Papua Tengah”. Judul tersebut diambil dari potongan pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Dalam pernyataan tersebut ia mencoba memberi penjelasan tentang alasan di balik tragedi kelaparan Timika yangLanjutkan membaca “Dekolonisasi, Multidisiplinitas, dan Etnografi: Senjata Ilmuwan Melawan Perusak Alam”

Ilmuwan kok Netral? Pantas Buminya Rusak!

Dalih netralitas sering sekali dipakai para ilmuwan. Terutama diucapkan ketika para pemakai jubah toga ini harus menghadapi suatu kasus polemik. Entah pada jerat kasus korupsi, pelecehan seksual, kerusakan alam akibat pembangunan, sampai UU ITE. “Saya itu akademisi. Di sini saya posisinya netral.” “Saya itu hanya penelitian.” “Saya itu hanya memberi edukasi ilmiah.” Omong kosong, bilaLanjutkan membaca “Ilmuwan kok Netral? Pantas Buminya Rusak!”

Kenapa Orang Tidak ke Museum? Seberapa Penting Dekolonialisasi?

Pertanyaan di atas bisa saja dengan mudah dijawab, “Ah mungkin di kotanya memang tidak ada museum,” atau, “Kan di desa tidak ada museum.” Itu pun benar adanya dan alasan akses menjadi salah satu faktor kenapa orang tidak ke museum. Namun, bagaimana dengan orang-orang yang terakses dengan fasilitas museum? Apalagi biaya masuk museum yang dikelola pemerintahLanjutkan membaca “Kenapa Orang Tidak ke Museum? Seberapa Penting Dekolonialisasi?”

Darurat Kekerasan pada Perempuan atas Nama Agama

Dalam sebuah proses penelitian etnografi, saya bersama seorang perempuan desa tempat saya tinggal pergi mendatangi kafe di desa lain untuk berdiskusi dengan sejumlah pemuda pada malam hari. Pemuda yang saya maksud adalah para anak muda laki-laki dengan beragam profesi —mahasiswa, pekerja tambang, dan jurnalis lokal. Malam itu kafe cukup ramai dan semuanya adalah laki-laki, kecualiLanjutkan membaca “Darurat Kekerasan pada Perempuan atas Nama Agama”

Pengetahuan yang Berkawin dengan “Pasar Bebas” Itu Menghancurkan

Saat menulis ini saya sedang dalam perasaan amarah yang begitu memuncak. Kemarahan tersebut tertuju pada segala kondisi huru-hara hari ini. Segala perubahan yang bukannya memberikan penerangan, tetapi malah membuat dunia semakin temaram dan semakin bundak. Kata orang ini zaman teknologi. Hidup manusia semakin canggih. Mau makan tinggal tekan tombol, mau mandi tinggal putar keran, bahkanLanjutkan membaca “Pengetahuan yang Berkawin dengan “Pasar Bebas” Itu Menghancurkan”