Pengetahuan yang Berkawin dengan “Pasar Bebas” Itu Menghancurkan

Saat menulis ini saya sedang dalam perasaan amarah yang begitu memuncak. Kemarahan tersebut tertuju pada segala kondisi huru-hara hari ini. Segala perubahan yang bukannya memberikan penerangan, tetapi malah membuat dunia semakin temaram dan semakin bundak.

Kata orang ini zaman teknologi. Hidup manusia semakin canggih. Mau makan tinggal tekan tombol, mau mandi tinggal putar keran, bahkan ketika sakit pun tinggal telan pil. Selesai perkara!

Namun, segala nikmat kecanggihan kenyataannya hanya milik segelintir orang. Sepersekian persen dari seluruh total umat manusia yang punya uang. Dengan begitu artinya, hidup yang canggih pun tidak egaliter, bukan milik semua orang. Kecanggihan teknologi nyatanya hanyalah produk pasar di dalam sistem ekonomi yang katanya “merdeka”.

Meskipun para teknokrat melulu berbicara tentang kemajuan pengetahuan, faktanya mereka buta pada keadaan sekitar. Ilmuwan-ilmuwan dan pencipta teknologi hanya tahu “nama baik” kemajuan pengetahuan. Beronani di laboratorium demi gelar sebagai penemu ini, penemu itu.

Para pebisnis kaya yang punya duit tak terbilang jumlahnya bekerja sama dengan ilmuwan-ilmuwan congkak tersebut. Diberinya duit ratusan hingga miliaran rupiah untuk mendanai penemuan yang disebut mereka “the great invention”.

Lalu, si ilmuwan yang sibuk dengan rumus-rumus asing itu  segera menjadi jumawa dan tenggelam di dalam lautan uang untuk membeli segala perkakas penemuan mereka. Hingga akhirnya, terciptalah segala bentuk produk teknologi canggih di luar nalar manusia.

Konferensi pers kemudian segera digelar. Media-media massa internasional diundang untuk meliput. Si ilmuwan di sana berbicara panjang lebar tentang kemajuan pengetahuan yang sedang ada digenggamannya. Di sampingnya berdiri juga si pebisnis yang sudah menggelontorkan “uang receh”-nya demi teknologi baru tersebut.

Sorak sorai pujian bergemuruh menyoraki kesombongan manusia modern yang sedang mencoba menguasai segalanya. Akan tetapi, berbulan-bulan kemudian tepuk tangan selamat tersebut seketika berubah menjadi laguh-lagah.

Jerit nestapa terdengar sayup, berpusat dari pedalaman hutan tropis yang entah tak terbaca di peta. Bersumber dari sekelompok masyarakat lokal yang hidup tenteram bersama lingkungan hutan di sana. Teriak kekacauan menggema pada tebing-tebing dataran tinggi. Namun, selintas teredam oleh suara operasional pabrik yang ada di tepi jalan masuk hutan.

Suara-suara mesin di pagi-siang-malam berbunyi bising, begitu menakutkan. Ditambah suara dentuman kayu-kayu puluhan meter yang jatuh oleh tebang-paksa menambah kepiluan dan keseraman.

Perusaknya siapa lagi kalau bukan kacung-kacung si pebisnis, sedangkan si pebisnis sendiri sedang duduk santai menghisap cerutu di pinggir kolam renang.

Semakin lama jerit nestapa tidak saja berasal dari satu wilayah. Bermunculan titik-titik lain. Di hutan belahan daerah lain, di tepi danau, di kaki gunung, di hulu sungai, hingga di tengah laut. Masyarakat lokal mengerang, alam pun kesakitan tak terperi. Kacau bukan main.

Namun, pada sudut lain. Si ilmuwan masih terus bekerja memainkan otak dan pengetahuannya di dalam laboratorium. Si pebisnis sedang menatap kurva pasar saham yang terus meningkat. Keduanya sedang tekun, satu atas nama pengetahuan dan satu lagi mengatasnamakan pasar bebas. Tai kucing!

*sumber foto: https://sentientmedia.org/how-does-agriculture-cause-deforestation/

Tinggalkan Komentar